Minggu, 23 Oktober 2011

Hepatitis Fulminan

0 komentar
Suatu jenis klinis hepatitis yang jarang terjadi, di mana perjalanan penyakitnya berkembang dengan cepat, terjadi ikterus yang semakin berat, kuning seluruh tubuh, timbul gejala neurologi atau ensefalopati hepatik, kemudian masuk ke dalam keadaan koma dan gagal hati akut.
Manifestasi Klinis
Penyakit ini berawal dari hepatitis akut ikterik yang lazim dijumpai dan dimulai dengan keluhan prodormal. Gejala-gejala yang membahayakan adalah muntah berulang, fetor hepatic, bingung, mengantuk, flapping tremor secara sepintas, peningkatan suhu, dan pengecilan hati. Pasien meninggal dalam waktu 10 hari. Mungkin ditemukan tanda-tanda perdarahan luas.
Untuk menentukan jenis penyebabnya dapat diambil pegangan perbedaan klinis yang terjadi. Pada hepatitis A paling sering didapatkan peningkatan suhu badan. Pada hepatitis B didapatkan waktu protrombin memanjang. Sedangkan pada hepatitis C, lama penyakit sebelum tercapai ensefalopati lebih panjang.

Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis dan secara biokimiawi terdapat gambaran gagal hati akut berupa tingginya bilirubin dan transaminase serum menurun. Koagulasi darah terganggu.

Komplikasi
Edema serebral, perdarahan saluran cerna, gagal ginjal, gangguan elektrolit, gangguan pernapasan, hipoglikemia, sepsis, gelisah, koagulasi intravascular diseminata, hipotensi dan kematian.
Tanda-tanda edema serebral adalah kenaikan tekanan intracranial dengan gejala dini transpirasi, hiperventilasi, hiperrefleksi, opistotonus, kejang-kejang, kelainan kedua pupil yang berakhir dengan reflex negative terhadap cahaya. Hilangnya refleks okulovestibular menunjukkan prognosis fatal.

Penetalaksanaan
Pasien harus dirawat di ruang rawat intensif. Pengobatan yang spesifik tidak ada, hanya bersifat suportif.
·      Edema serebral diobati dengan manitol iv 1 g/kg 4-6 jam dengan observasi osmolaritas serum yang cermat. Bila melampaui 320 mOsmol/L harus dihentikan dan diulang kembali bila telah kembali normal. Perdarahan saluran cerna diturunkan dengan pemberian simetidin 300mg/6 jam atau per infuse dengan dosis 50 mg/ jam.
·    Laktulosa diberikan untuk mengendalikan hiperamonia dengan dosis disesuaikan agar tidak terjadi diare 2-3 kali/sehari. Gangguan elektrolit berupa hiponatremia akibat pemakaian laktulosa yang berlebihan dapat terjadi.
·    Hipoglikemia diobati secara agresif dengan larutan dekstrosa 10-25%. Packed red cell hanya diberikan pada pasien dengan perdarahan aktif atau jika akan dilakukan tindakan invasive seperti intubasi atau kanulasi vena sentral.
·      Berikan diazepam bila pasien gelisah.
·      Dianjurkan pemberian kortikosteroid dosis tinggi yaitu 800 mg/hari atau 400 mg/hari.
·      Transplantasi hati tidak praktis karena waktu terbatas dan donor tidak mudah di dapat.

Prognosis
Peningkatan α feto protein (AFP) darah pada awal koma, dapat mencerminkan kapasitas regenerasi hati yang baik dan harapan hidup lebih besar.

Hepatitis Kronik

0 komentar
Dikatakan hepatitis kronik bila penyakit menetap, tidak menyembuh secara klinis atau laboratorium atau pada gambaran patologi anatomi, selama 6 bulan.
Ada 2 bentuk hepatitis kronik, yaitu:
1.    Hepatitis kronik persisten.
2.    Hepatitis kronik aktif.
Sangat penting untuk membedakan 2 bentuk tersebut sebab yang disebut pertama mempunyai prognosis yang baik dan akan sembuh sempurna. Diagnosis hanya dapat dipastikan dengan pemeriksaan biopsy dan gambaran PA. Hepatitis kronik aktif umumnya berakhir menjadi sirosis hepatis.
Penatalaksanaan
Obat yang dinilai bermanfaat untuk pengobatan hepatitis kronik adalah interferon (IFN). Obat ini adalah suatu protein selular stabil dalam asam yang diproduksi oleh sel tubuh kita akibat rangsangan virus atau akibat induksi beberapa mikroorganisme, asam nukleat, antigen, mitogen, dan polimer sintetik. Interferon mempunyai efek antivirus, imunomodulasi, dan antiproliferatif.

Hepatitis B
Pemberian interferon pada penyakit ini ditujukan untuk menghambat replikasi virus hepatitis B, menghambat nekrosis sel hati oleh karena reaksi radang, dan mencegah transformasi maligna sel-sel hati. Diindikasikan untuk:
·       Pasien dengan HBeAG dan HBV-DNA positif
·       Pasien hepatitis kronik aktif berdasarkan pemeriksaan histopatologi
·   Dapat dipertimbangkan pemberian interferon pada hepatitis fulminan akut meskipun belum banyak dilakukan penelitian pada bidang ini.
Diberikan IFN leukosit pada kasus hepatitis kronik aktif dengan dosis sedang 5-10 MU/m2/hari selama 3-6 bulan. Dapat juga pemberian IFN limfoblastoid 10 MU/m2 3 kali seminggu selama 3 bulan lebih.
Sepertiga pasien hepatitis B kronik memberi respons terhadap terapi interferon, ditandai dengan HBV DNA dan serokonversi HbeAg/ Anti HBe, serokonversi HBsAg/Anti HBs terjadi pada 7% pasien. Terapi ini harus dilakukan minimal selama 3 bulan.

Hepatitis C
Pemberian interferon bertujuan mengurangi gejala, mengusahakan perbaikan parameter kimiawi, mengurangi peradangan dalam jaringan hati, menghambat progresi histopatologi, menurunkan infektivitas, menurunkan risiko terjadinya hepatoma, dan memperbaiki harapan hidup.
Respons tergantung dari lamanya penyakit dan kelainan histology. Dosis standar yang biasa dipakai adalah interferon α dengan dosis 3 x 3 juta unit/minggu selama 6 bulan. Masih belum jelas apakah menambah waktu pengobatan di atas 9 bulan dapat meningkatkan respons dan menurunkan angka kambuh.
Dapat terjadi kekambuhan singkat beberapa bulan setelah obat dihentikan selama kurang dari 3 bulan, kemudian kadar SGPT akan kembali ke normal. Bila berlangsung lebih dari 3 bulan dianggap berkepanjangan dan harus diobati. Biasanya bila pengobatan sebelumnya berhasil, respons pengobatan akan sama baiknya dengan pemberian terapi ulangan dosis semula.

Hepatitis Akut

0 komentar
Penyakit infeksi akut dengan gejala utama berhubungan erat dengan adanya nekrosis pada hati. Biasanya disebabkan oleh virus yaitu virus hepatitis A, virus hepatitis B, virus hepatitis C, dan virus-virus lain.

Manifestasi Klinis
1. Stadium praikterik berlangsung selama 4-7 hari. Pasien mengeluh sakit kepala, lemah, anoreksia, mual, muntah, demam, nyeri pada otot, dan nyeri di perut kanan atas. Urin menjadi lebih coklat.
2.  Stadium ikterik yang berlangsung selama 3-6 minggu. Ikterus mula-mula terlihat pada sclera, kemudian pada kulit seluruh tubuh. Keluhan-keluhan berkurang, tetapi pasien masih lemah, anoreksia, dan muntah. Tinja mungkin berwarna kelabu atau kuning muda. Hati membesar dan nyeri tekan.
3. Stadium pascaikterik (rekonvalesensi). Ikterus mereda, warna urin dan tinja menjadi normal lagi. Penyembuhan pada anak-anak lebih cepat dari orang dewasa, yaitu pada akhir bulan kedua, karena penyebab yang biasanya berbeda.
Gambaran klinis hepatitis virus bervariasi, mulai dari yang tidak merasakan apa-apa atau hanya mempunyai keluhan sedikit saja sampai keadaan yang berat, bahkan koma dan kematian dalam beberapa hari saja.
Pada golongan hepatitis inapparent, tidak ditemukan gejala. Hanya diketahui bila dilakukan pemeriksaan faal hati (peningkatan serum transaminase) dan biopsi menunjukkan kelainan.
Pada hepatitis anikterik, keluhan sangat ringan dan samar-samar, umumnya anoreksia dan gangguan pebcernaan. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan hiperbilirubinemia ringan, dan bilirubinuria. Urin secara makroskopik berwarna seperti teh tua dan apabila dikocok akan memperlihatkan busa berwarna kuning kehijauan.
Bentuk hepatitis akut yang ikterik paling sering ditemukan dalam klinis. Biasanya perjalanan jinak dan akan sembuh dalam waktu kira-kira 8 minggu.
Hampir semua hepatitis fulminan mempunyai prognosis jelek. Kematian biasanya terjadi dalam 7-10 hari sejak mulai sakit. Pada waktu yang singkat terdapat gangguan neurologi, fetor hepatik, dan muntah-muntah yang persisten. Terdapat demam dan ikterus yang menghebat dalam waktu singkat. Pada pemeriksaan didapatkan hati yang mengecil, purpura, dan perdarahan saluran cerna.
Pada hepatitis persisten, tidak terdapat kemajuan dari periode akut dan seluruh perjalanan penyakitpenurunan bilirubin dan transaminase terjadi perlahan-lahan. Pasien masih mengeluh lemah dan cepat lelah, meskipun nafsu makan telah membaik. Pekerjaan fisik akan memperburuk hasil pemeriksaan fungsi hati. Golongan ini akan sembuh sempurna dalam waktu antara 1-2 tahun.
Ada pula bentuk hepatitis yang subakut atau submassive hepatic necrosis yang perjalanan penyakitnya progresif. Pemeriksaan biokimiawi lebih menunjukkan tanda-tanda obstruksi dengan peninggian fosfatase alkali dan kolesterol dalam serum. Sesudah masa ikterus yang lama, biasanya pasien akan sembuh dalam waktu 12 bulan.
Pada hepatitis kolangitik, ikterusnya hebat disertai pruritus, biasanya berlangsung lebih dari 4 minggu. Sedangkan pada sindroma pascahepatitis, beberapa pasien, terdapat keluhan-keluhan subyektif menetap seperti anoreksia, lemah, perasaan tidak enak di perut, atau gangguan pencernaan, atau berat badan yang tidak naik. Pemeriksaan fungsi hati biasanya sudah kembali normal.
Ada 4 macam bentuk kemungkinan perjalanan penyakit hepatitis B, yaitu:
1.    Hepatitis fulminan yang umumnya berakhir dengan kematian.
2.    Hepatitis akut dengan penyembuhan.
3.    Hepatitis akut yag menjadi kronik.
4.    Bentuk laten yang menjadi kronik.

Pencegahan
Terhadap virus hepatitis A.
·   Penyebaran secara fekal-oral, pencegahan masih sulit karena adanya karier dari virus tipe A yang sulit ditetapkan.
·      Virus ini resisten terhadap cara-cara sterilisasi biasa, termasuk klorinasi. Sanitasi yang sempurna, kesehatan umum, dan pembuangan tinja yang baik sangat penting. Tinja, darah, dan urin pasien harus dianggap infeksius. Virus dikeluarkan di tinja mulai sekitar 2 minggu sebelum ikterus.
Terhadap virus hepatitis B.
·      Dapat ditularkan melalui darah dan produk darah. Darah tidak dapat disterilkan dari virus hepatitis. Psien hepatitis sebaiknya tidak menjadi donor darah.
·      Usaha pencegahan yang paling efektif adalah imunisasi. Imunisasi hepatitis B dilakukan terhadap bayi-bayi setelah dilakukan penyaring HBsAg pada ibu-ibu hamil. Namun saat ini,  di beberapa negara, (termasuk Indonesia dengan Program Pengembangan Imunisasinya) bayi-bayi yang lahir diberi vaksinasi hepatitis B tanpa melakukan pemeriksaan penyaring pada ibunya.

Pencegahan dengan imunoglobulin
Pemberian imunoglobulin (HbIg) dalam pencegahan hepatitis infeksiosa member pengaruh yang baik, sedangkan pada hepatitis serum masih diragukan kegunaannya. Diberikan dalam dosis 0,02 ml/kg BB im dan ini dapat mencegah timbulnya gejala pada 80-90%. Diberikan pada mereka yang dicurigai ada kontak dengan pasien.

Penatalaksanaan
Terdiri dari istirahat, diet, dan pengobatan medikamentosa.
1.    Istirahat. Pada periode akut dan keadaan lemah diharuskan cukup istirahat. Istirahat mutlak tidak terbukti dapat mempercepat penyembuhan. Kekecualian diberikan kepada mereka dengan umur tua dan keadaan umum yang buruk.
2.  Diet. Jika pasien mual, tidak nafsu makan atau muntah-muntah, sebaiknya diberikan infuse. Jika sudah tidak mual lagi, diberikan makanan yang cukup kalori (30-35 kalori/kgBB) dengan protein cukup (1 g/kgBB). Pemberian lemak sebenarnya tidak perlu dibatasi. Dulu ada kecenderungan untuk membatasi lemak, karena disamakan dengan penyakit kandung empedu. Dapat diberikan diet hati II-III.
3.    Medikamentosa.
a.    Kortikosteroid tidak diberikan bila untuk mempercepat penurunan bilirubin darah. Kortikosteroid dapat digunakan pada kolestasis yang berkepanjangan, di mana transaminase serum sudah kembali normal tetapi bilirubin masih tinggi. Pada keadaan ini dapat diberikan prednisone 3 x 10 mg selama 7 hari kemudian dilakukan tapering off.
b.    Berikan obat-obat yang bersifat melindungi hati.
c.    Antibiotic tidak jelas kegunaannya.
d.   Jangan diberikan antiemetic. Jika perlu sesekali dapat diberikan golongan fenotiazin.
e. Vitamin K diberikan pada kasus dengan kecenderungan perdarahan. Bila pasien dalam keadaan prekoma atau koma, penanganan seperti pada koma hepatik.

Amebiasis Hati

0 komentar
Penyebabnya adalah Entamoeba hystolitica yang menyerang saluran cerna dan sebagai komplikasi mengenai alat di luar saluran cerna seperti hati, paru-paru, otak, dan kulit. Amebiasis hati lebih banyak menyerang laki-laki.

Patofisiologi
Ada 3 cara E. hystolitica masuk ke hati:
1.    Melalui system portal.
2.    Secara langsung dari usus menembus peritoneum masuk ke hati.
3.    Melalui system limfe.
Manifestasi Klinis
Perlu diduga adanya amebiasis hati pada pasien-pasien yang mempunyai keluhan sebagai berikut:
1.    Rasa sakit di perut kanan atas, demam, rasa mual, penuh.
2. Tidak ada nafsu makan, sukar tidur, berkeringat terutama malam hari, badan menjadi kurus, panas, menggigil.
3.    Buang air besar biasa/obstipasi/diare.
4.    Susah bernapas karena sakit.
5.    Rasa sakit menjalar ke pinggang dan ke bahu kanan.
Di samping itu ada riwayat diare dengan ingus dan/tanpa darah. Ditemukan pula ketegangan di perut kanan atas dan hepatomegali.

Diagnosis
Diagnosis abses hati ameba berdasarkan:
1.    Respons baik terhadap pengobatan.
2.    Kelainan darah seperti leukositosis, tes imunodifusi ameba positif.
3.    Kelainan radiologi, yaitu peninggian diafragma kanan dan diafragma tak bergerak pada pernapasan.
4.    USG hati.
5.    Ditemukan pus yang berwarna tengguli pada aspirasi abses.
Diagnosis pasti dengan ditemukannya ameba pada jaringan hati dan pus berwarna merah tengguli pada aspirasi. Harus diingat bahwa hasil negatif pada pemeriksaan ameba atau tidak ada riwayat disentri sama sekali tidak menyingkirkan kemungkinan abses ameba.

Penatalaksanaan
1.    Istirahat di tempat tidur.
2.    Diet makanan lunak atau makanan biasa, tergantung keadaan penyakitnya.
3.    Terapi medikamentosa:
a.    Metronidazol. Dosis 4 x 500 mg/hari selama 5-10 hari, boleh dilanjutkan dengan atau bersama-sama klorokuin.
b.    Klorokuin. Dosis 3 x 250 mg/hari selama minimal 3 minggu, atau pada dua hari pertama diberikan 3 x 300 mg/hari kemudian dilanjutkan dengan 3 x 200 mg/hari selama minimal 19 hari. Pemberian preparat ini sebagai preparat tunggal perlu diikuti dengan amubisid usus, misalnya Yatren 3 x 500 mg selama seminggu/menjelang selesai pemberian obat (kira-kira 10 hari).

Kolesistitis Kronik

0 komentar
Kolesistitis kronik adalah suatu keadaan di mana mukosa dan jaringan otot polos kandung empedu diganti dengan jaringan ikat, sehingga kemampuan memekatkan empedu hilang.
Disebabkan oleh kolesistitis akut yang berulang-ulang. Gambaran klinis mirip keadaan akut, yaitu nyeri perut kanan atas, kolik bilier, atau hanya rasa tidak enak di epigastrium. Terdapat demam ringan dan hiperbilirubinemia ringan.
Penatalaksanaan
Kolesistektomi. Pada operasi, kira-kira 95% kasus mempunyai kandung empedu yang telah sklerotik dan berisi batu.

Daftar Pustaka
1.  Noer HMS, Waspadji S, Rachman AM, et al, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I. edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1996.
2.    Sulaiman A, Daldiyono, Akbar N, Rani A. gastroenterology hepatologi. Jakarta: CV Info Medika, 1990.
3.    Myers AR. National medical series for independent study: Medicine. Maryland: Williams & Wilkins.1997.

Kolesistitis Akut

0 komentar
Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu.

Etiologi
Umumnya kolesistitis disebabkan oleh batu empedu. Sumbatan batu empedu pada duktus sistikus menyebabkan distensi kandung empedu dan gangguan aliran darah dan limfe, bakteri komensal kemudian berkembang biak. Penyebab lain adalah kuman-kuman seperti Escherichia coli, Salmonella typhosa, cacing askaris, atau karena pengaruh enzim-enzim pankreas.
Manifestasi Klinis
1.    Gangguan pencernaan, mual, dan muntah.
2.    Nyeri perut kanan atas atau kadang-kadang hanya rasa tidak enak di epigastrium.
3.    Yang khas yaitu nyeri yang menjalar ke bahu atau subskapula.
4.    Demam dan ikterus (bila terdapat batu di duktus koledokussistikus)
5.    Gejala nyeri perut bertambah bila makan banyak lemak.
Pada pemeriksaan fisik didapati tanda-tanda lokal seperti nyeri tekan dan defans muskular, kadang-kadang kandung empedu yang membengkak dan diselubungi omentum dapat teraba, nyeri tekan disertai tanda-tanda peritonitis lokal. Tanda Murphy terjadi bila inspirasi maksimal terhenti pada penekanan perut ke atas.

Pemeriksaan Penunjang
Leukositosis, hiperbilirubinemia ringan dan peninggian fosfatase alkali. Dengan foto polos radiologi kadang-kadang terlihat batu empedu. Hasil yang lebih baik dan pasti dilakukan dengan ultrasonografi (USG) abdomen.

Penatalaksanaan
1.    Konservatif pada keadaan akut.
a.    Bila penyakit berat, pasien perlu dirawat dan diberi cairan perinfus.
b.    Istirahat baring.
c.    Puasa, pasang pipa nasogastrik.
d.   Analgesik, antibiotic.
2. Bila gagal dengan pengobatan konservatif atau terdapat toksemia yang progresif perlu dilakukan kolesistektomi. Hal ini perlu untuk mncegah terjadinya komplikasi (gangrene, perforasi, empiema, pancreatitis, dan kolangitis). Sebaiknya kolesistektomi dikerjakan pula pada serangan yang berulang-ulang.

Kolelitiasis

0 komentar
Pada umumnya batu empedu dapat dibagi menjadi 3 tipe, yaitu:
1.    Tipe kolesterol
2.    Tipe pigmen empedu
3.    Tipe campuran
     Beberapa faktor risiko terjadinya batu empedu antara lain jenis kelamin, umur, hormone wanita, infeksi (kolesistitis), kegemukan, paritas, serta factor genetik.
     Terjadinya batu kolesterol adalah akibat gangguan hati yang mengekskresikan kolesterol berlebihan hingga kadarnya di atas nilai kritis kelarutan kolesterol dalam empedu.
    Sedangkan tipe pigmen biasanya adalah akibat proses hemolitik atau infestasi Escherichia coli atau Ascaris lumbricoides ke dalam empedu yang dapat mengubah bilirubin diglukuronida menjadi bilirubin bebas yang mungkin dapat menjadi kristal kalium bilirubin.

Manifestasi Klinis
Kelainan ini frekuensinya meningkat sesuai bertambahnya umur. Mungkin tanpa gejala, mungkin pula terdapat gejala-gejala seperti perasaan penuh di epigastrium, nyeri perut kanan atas, atau dapat juga kolik bilier disertai demam dan ikterus.

Diagnosis
Diagnosis pasti dilakukan dengan pemeriksaan radiologi (ultrasonografi dan tomografi komputer).

Komplikasi
Komplikasi yang penting ialah terjadinya kolesistitis akut dan kronik, koledokolitiasis, dan pancreatitis. Yang lebih jarang ialah kolangitis, abses hati, sirosis bilier, empiema, dan ikterus obstruktif.

Penatalaksanaan
1.    Konservatif.
a.    Diet rendah lemak.
b.    Obat-obat antikolinergik-antispasmodik.
c.    Analgesik
d.   Antibiotik, bila disertai kolesistitis.
e.    Asam empedu (asam kenodeoksikolat) 6,75-4,5 g/hari, diberikan dalam waktu lama, dikatakan dapat menghilangkan batu empedu, terutama batu kolesterol. Asam ini mengubah empedu yang mengandung banyak kolesterol (lithogenic bile) menjadi empedu dengan komposisi normal. Dapat juga untuk pencegahan, namun efek toksiknya banyak, kadang-kadang diare.
2.    Kolesistektomi.
Dengan kolesistektomi, pasien tetap dapat hidup normal, makan seperti biasa. Umumnya dilakukan pada pasien dengan kolik bilier atau diabetes.

Sirosis Hepatis

0 komentar
Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan difus dan menahun pada hati,diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi, dan regenerasi sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati.

Etiologi
Secara morfologi, sirosis dibagi atas jenis mikronodular (portal), makronodular (pascanekrotik) dan jenis campuran, sedang dalam klinik dikenal 3 jenis, yaitu portal, pascanekrotik, dan bilier. Penyakit-penyakit yang diduga dapat menjadi penyebab sirosis hepatis antara lain malnutrisi, alkoholisme, virus hepatitis, kegagalan jantung yang menyebabkan bendungan vena hepatica, penyakit Wilson, hemokromatosis, zat toksik, dan lain-lain.
Manifestasi Klinis
Gejala terjadi akibat perubahan morfologi dan lebih menggambarkan beratnya kerusakan yang terjadi daripada etiologinya. Didapatkan gejala dan tanda sebagai berikut:
1.    Gejala-gejala gastrointestinal yang tidak khas seperti anoreksia, mual, muntah, dan diare.
2.    Demam, berat badan turun, lekas lelah.
3.    Asites, hidrotoraks, dan edema.
4.    Ikterus, kadang-kadang urin menjadi lebih tua warnanya atau kecoklatan.
5. Hepatomegali, bila telah lanjut hati dapat mengecil karena fibrosis. Bila secara klinis didapati adanya demam, ikterus, dan asites, di mana demam bukan oleh sebab-sebab lain, dikatakan sirosis dalam keadaan aktif. Hati-hati akan kemungkinan timbulnya prekoma dan koma hepatikum.
6.   Kelainan pembuluh darah seperti kolateral-kolateral di dinding abdomen dan toraks, kaput medusa, wasir, dan varises esofagus.
7.    Kelainan endokrin yang merupakan tanda dari hiperestrogenisme yaitu:
a.    Impotensi, atrofi testis, ginekomastia, hilangnya rambut aksila, dan pubis.
b.    Amenore, hiperpigmentasi areola mammae.
c.    Spider nevi dan eritema.
d.   Hiperpigmentasi.
8.    Jari tabuh.

Pemeriksaan Penunjang
Adanya anemia, gangguan faal hati (penurunan kadar albumin serum, peninggian kadar globulin serum, peninggian kadar bilirubin direk dan indirek), penurunan enzim kolinesterase, serta peninggian SGOT dan SGPT.
Pemeriksaan terhadap alfa feto protein sering menunjukkan peningkatan. Untuk melihat kelainan secara histopatologi dilakukan biopsy hati

Penatalaksanaan
1.    Istirahat di tempat tidur sampai terdapat perbaikan ikterus, asites, dan demam.
2.   Diet rendah protein (diet hati III: protein 1 g/kgBB, 55 g protein, 2.000 kalori). Bila ada asites diberikan diet rendah garam II (600-800 mg) atau III (1.000-2.000 mg). bila proses tidak aktif, diperlukan diet tinggi kalori (2.000-3.000 kalori) dan tinggi protein (80-125 g/hari).
Bila tidak ada tanda-tanda prekoma atau koma hepatikum, jumlah protein dalam makanan dihentikan (diet hati I) untuk kemudian diberikan kembali sedikit demi sedikit sesuai toleransi dan kebutuhan tubuh. Pemberian protein yang melebihi kemampuan pasien atau meningginya hasil metabolism protein dalam darah viseral dapat mengakibatkan timbulnya koma hepatikum. Diet yang baik dengan protein yang cukup perlu diperhatikan.
3.    Mengatasi infeksi dengan antibiotik. Diusahakan memakai obat-obatan yang jelas tidak hepatotoksik.
4.   Memperbaiki keadaan gizi, bila perlu dengan pemberian asam amino esensial berantai cabang dan glukosa.
5.    Roborantia. Vitamin B kompleks. Dilarang makan dan minum bahan yang mengandung alkohol.
Penatalaksanaan asites dan edema adalah:
1.  Istirahat dan diet rendah garam. Dengan istirahat dan diet rendah garam (200-500 mg per hari), kadang-kadang asites dan edema telah dapat diatasi. Adakalanya harus dibantu dengan membatasi jumlah pemasukan cairan selama 24 jam, hanya sampai 1 liter atau kurang.
2. Bila dengan istirahat dan diet tidak dapat diatasi, diberikan pengobatan diuretic berupa spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat ditingkatkan sampai 300 mg/hari bila setelah 3-4 hari tidak terdapat perubahan.
3. Bila terjadi asites refrakter (asites yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi medikamentosa yang intensif), dilakukan terapi parasentesis. Walaupun cara pengobatan asites yang tergolong kuno dan sempat ditinggalkan karena berbagai komplikasinya, parasentesis banyak kembali dicoba untuk digunakan. Pada umumnya parasentesis aman apabila disertai dengan infuse albumin sebanyak 6-8 g untuk setiap liter cairan asites. Selain albumin dapat pula digunakan dekstran 70%. Walaupun demikian untuk mencegah pembentukan asites setelah parasentesis, pengaturan diet rendah garam dan diuretik biasanya tetap diperlukan.
4.  Pengendalian cairan asites. Diharapkan terjadi penurunan berat badan 1 kg/2 hari atau keseimbangan cairan negatif 600-800 ml/hari. Hati-hati bila cairan terlalu banyak dikeluarkan dalam satu saat, dapat mencetuskan ensefalopati hepatic.

Komplikasi
Hematemesis melena dan koma hepatikum.

Prognosis
Prognosis tergantung pada luasnya kerusakan hati/kegagalan hepatoselular, beratnya hipertensi portal, dan timbulnya komplikasi lain.

Minggu, 16 Oktober 2011

Hemofilia

0 komentar
Hemofilia adalah kelainan koagulasi darah bawaan yang paling sering dan serius, berhubungan dengan defisiensi faktor VIII, IX, atau XI. Biasanya hanya terdapat pada anak laki-laki, terpaut kromosom X dan bersifat resesif.

Hemofilia A
Merupakan hemofilia klasik dan terjadi karena defisiensi faktor VIII. Sekitar 80% kasus hemofilia adalah hemofilia A.

Manifestasi Klinis
Karena faktor VIII tidak melewati plasenta, kecenderungan perdarahan dapat terjadi dalam periode neonatal. Kelainan diketahui bila pasien mengalami perdarahan setelah mendapat suntikan atau setelah tindakan sirkumsisi. Setelah pasien memasuki usia kanak-kanak aktif sering terjadi memar atau hematoma yang hebat sekalipun trauma yang mendahuluinya ringan. Laserasi kecil, seperti luka di lidah atau bibir, dapat berdarah sampai berjam-jam atau berhari-hari. Gejala khasnya adalah hemartrosis (perdarahan sendi) yang nyeri dan menimbulkan keterbatasan gerak, dapat timbul spontan maupun akibat trauma ringan.

Pemeriksaan Penunjang
Masa pembekuan (MP) dan masa tromboplastin parsial (PTT) memanjang. Jumlah trombosit, masa perdarahan, dan masa protrombin normal.

Penatalaksanaan
Pada tatalaksana umum perlu dihindari trauma. Pada masa bayi, lapisi tempat tidur dan bermain dengan busa. Awasi anak dengan ketat saat belajar berjalan. Saat anak semakin besar, perkenalkan dengan aktivitas fisik yang tidak berisiko trauma. Hindari obat yang mempengaruhi fungsi platelet dan dapat mencetuskan perdarahan seperti aspirin, dll.
Terapi pengganti dilakukan dengan memberikan kriopresipitat atau konsentrat faktor VIII.

Hemofilia B
Terjadi karena defisiensi faktor IX. Faktor IX diproduksi hati dan merupakan salah satu faktor pembekuan dependen vitamin K. Hemofilia B merupakan 12-15% kasus hemofilia.

Manifestasi Klinis
Sama dengan hemofilia A.

Pemeriksaan Penunjang
Sama dengan hemofilia A. Kadar faktor IX diperiksa untuk membedakan dengan hemofilia A.

Penatalaksanaan
Tata laksana umum sama dengan hemofilia A.
Terapi pengganti dilakukan dengan memberikan fresh frozen plasma (FFP) atau konsentrat faktor IX.
 

Daftar Pustaka
1.  Hassan R, Hussein A, editor. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1985: 432-82.
2.  Markum HAH. Diagnosis dan Penanggulangan Anemia Defisiensi. Pendidikan Tambahan Berkala Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta:5-13.
3.   Abdulsalam M. Diagnosis dan Penanggulangan Leukemia Akut pada Anak. Pendidikan Tambahan Berkala Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta:55-61.
4. Petunjuk Diagnosis dan Tatalaksana Kasus Talasemia. Jakarta;Subbaagian Hematologi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM, 1997.
5.   McDonagh KT, Nienhuis AW. The Thalassemia. Dalam: Natha DG, Oski FA, ed. Hematology of infancy and childhood. 4th ed. Philadelphia;WB Saunders, 1993: 783-880.
6.    Arif, Mansjoer.Kapita Selekta Kedokteran.Jakarta:Media Aesculapius. 2000.

Talasemia

0 komentar
Talasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan secara resesif. Secara molekuler talasemia dibedakan atas talasemia alfa dan beta, sedangkan secara klinis dibedakan atas talasemia mayor dan minor.
Patofisiologi
Penyebab anemia pada talasemia bersifat primer dan sekunder. Primer adalah berkurangnya sintesis HbA dan eritropoesis yang tidak efektif disertai penghancuran sel-sel eritrosit intramedular. Sedangkan yang sekunder ialah karena defisiensi asam folat, bertambahnya volume plasma intravaskular yang mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi eritrosit oleh sistem retikuloendotelial dalam limpa dan hati.

Penelitian biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang.

Terjadinya hemosiderosis merupakan hasil kombinasi antara transfusi berulang, peningkatan absorbsi besi dalam usus karena eritropoesis yang tidak efektif, anemia kronis, serta proses hemolisis.

Manifestasi Klinis
Bayi baru lahir dengan talasemia beta mayor tidak anemis. Gejala awal pucat mulanya tidak jelas, biasanya menjadi lebih berat dalam tahun pertama kehidupan dan pada kasus yang berat terjadi dalam beberapa minggu setelah lahir. Bila penyakit ini tidak ditangani dengan baik, tumbuh kembang masa kehidupan anak akan terhambat. Anak tidak nafsu makan, diare, kehilangan lemak tubuh, dan dapat disertai demam berulang akibat infeksi. Anemia berat dan lama biasanya menyebabkan pembesaran jantung.

Terdapat hepatosplenomegali. Ikterus ringan mungkin ada. Terjadi perubahan pada tulang yang menetap, yaitu terjadinya bentuk muka mongoloid akibat sistem eritropoesis yang hiperaktif. Adanya penipisan korteks tulang panjang, tangan, dan kaki dapat menimbulkan fraktur patologis. Penyimpangan pertumbuhan akibat anemia dan kekurangan gizi menyebabkan perawakan pendek. Kadang-kadang ditemukan epistaksis, pigmentasi kulit, koreng pada tungkai, dan batu empedu. Pasien menjadi peka terhadap infeksi terutama bila limpanya telah diangkat sebelum usia 5 tahun dan mudah mengalami septisemia yang dapat mengakibatkan kematian. Dapat timbul pansitopenia akibat hipersplenisme.

Hemosiderosis terjadi pada kelenjar endokrin (keterlambatan menars dan gangguan perkembangan sifat seks sekunder), pancreas (diabetes), hati (sirosis), otot jantung (aritmia, gangguan hantaran, gagal jantung), dan perikardium (perikarditis).

 
Pemeriksaan Penunjang
Anemia biasanya berat, dengan kadar hemoglobin (Hb) berkisar antara 3-9 g/dl. Eritrosit memperlihatkan anisositosis, poikilositosis, dan hipokromia berat. Sering ditemukan sel target dan tear drop cell. Normoblas (eritrosit berinti) banyak dijumpai terutama pasca splenektomi. Gambaran sumsum tulang memperlihatkan eritropoesis yang hiperaktif sebanding dengan anemianya. Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan elektroforesis hemoglobin. Petunjuk adanya talasemia alfa adalah ditemukannya Hb Bart’s dan HbH. Pada talasemia beta kadar HbF bervariasi antara 10-90%, sedangkan dalam keadaan normal kadarnya tidak melebihi 1%.

Atasi anemia dengan tranfusi PRC (packed red cell). Tranfusi hanya diberikan bila Hb < 8 g/dl. Sekali diputuskan untuk diberi tranfusi darah, Hb harus selalu dipertahankan di atas 12 g/dl dan tidak melebihi 15 g/dl. Bila tidak terdapat tanda gagal jantung dan Hb sebelum tranfusi di atas 5 g/dl, diberikan 10-15 mg/kgBB per satu kali pemberian selama 2 jam atau 20 ml/kgBB dalam waktu 3-4 jam. Bila terdapat tanda gagal jantung, pernah ada kelainan jantung, atau Hb < 5 g/dl, dosis satu kali pemberian tidak boleh lebih dari 5 ml/kgBB dengan kecepatan tidak lebih dari 2 ml/kgBB/jam. Sambil menunggu persiapan tranfusi darah diberikan oksigen dengan kecepatan 2-4 l/menit. Setiap selesai pemberian satu seri tranfusi, kadar Hb pasca tranfusi diperiksa 30 menit setelah pemberian tranfusi terakhir.

Untuk mengeluarkan besi dari jaringan tubuh diberikan kelasi besi, yaitu Desferal secara im atau iv.
Splenektoni diindikasikan bila terjadi hipersplenisme atau limpa terlalu besar sehingga membatasi gerak pasien, menimbulkan tekanan intraabdominal yang mengganggu napas dan berisilo mengalami rupture. Hipersplenisme dini ditandai dengan jumlah tranfusi melebihi 250 ml/kgBB dalam 1 tahun terakhir dan adanya penurunan Hb yang drastis. Hipersplenisme lanjut ditandai oleh adanya pansitopenia. Splenektomi sebaiknya dilakukan pada umur 5 tahun ke atas saat fungsi limpa dalam system imun tubuh telah dapat diambil alih oleh organ limfoid lain.

Imunisasi terhadap virus hepatitis B dan C perlu dilakukan untuk mencegah infeksi virus tersebut melalui tranfusi darah.
Transplantasi sumsum tulang perlu dipertimbangkan pada setiap kasus baru dengan talasemia mayor. Diberikan asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat pada pasien talasemia, khususnya pada yang jarang mendapat tranfusi darah. 

Secara berkala dilakukan pemantauan fungsi organ, seperti jantung, paru, hati, endokrin termasuk kadar glukosa darah, gigi, telinga, mata, dan tulang.